BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hukum Islam (syariah) mempunyai kemampuan untuk ber-evolusi dan
berkembang dalam menghadapi soal-soal modern saat ini. Semangat dan prinsip
umum hukum Islam flexibel dan luas berlaku di masa lampau, masa kini dan akan
datang. Dalam banyak hal, pola sistem hukum Islam menyerahkan soal-soal
kekinian kepada akal dan ijtihad manusia.
Elastisitas Hukum Islam
itulah yang menyebabkan Hukum Islam itu senantiasa akan dapat menjawab segala tantangan
dan kebutuhan zaman. Al-qur’an hanya menjelaskan dasar-dasar umumnya saja bagi permasalahan yang akan
berkembang. Kaidah-kaidah umunya sudah ada, akan tetapi rincian lebih lanjut akan diselesaikan melalui ijtihad
manusia itu sendiri. Termasuk dalam hal ekonomi, khususnya yang berkenaan
dengan Ekonomi Islam yang cakupannya sangat luas.
Kehidupan manusia tidak
dapat dipisahkan dan akan senantiasa berhubungan dengan yang namanya transaksi.
Dalam hal itu lah, bagaimana seharusnya sebagai ekonom Muslim bertindak dan
bertranskasi sesuai dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, perlu mempelajari
dasar-dasar Ekonomi Islam itu sendiri.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah
Pengertian dan Hakikat Ekonomi dalam Islam?
2. Bagaimanakah
Perilaku Ekonomi dalam Islam?
1.3 Tujuan
Penulisan
1. Mengetahui
Dasar-dasar Pengertian dan Hakikat Ekonomi dalam Islam
2. Mengetahui
Perilaku Ekonomi Yang Benar dalam Islam
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian dan Hakikat Ekonomi Islam
2.1.1
Pengertian Ekonomi Islam
Ekonomi Islam
adalah mazhab ekonomi Islam yang di dalamnya terjelma cara Islam mengatur
kehidupan perekonomian dengan apa yang dimiliki dan ditujukan oleh mazhab ini,
yaitu ketelitian tentang tata cara berpikir yang terdiri dari nilai-nilai moral
Islam dan nilai-nilai ekonomi atau nilai-nilai sejarah yang berhubungan dengan
masalah-masalah siasat perekonomian maupun yang berhubungan dengan uraian
sejarah masyarakat manusia.
Ekonomi Islam juga
merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya
diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana
dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam. Bekerja merupakan suatu kewajiban
kerana Allah swt memerintahkannya, sebagaimana firman-Nya dalam surat At Taubah
ayat 105:
Dan katakanlah, bekerjalah kamu, karena Allah dan Rasul-Nya serta
orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaan itu.
Kerja membawa pada
keampunan, sebagaimana sabda Rasulullah Muhammad saw:
Barang siapa diwaktu harinya keletihan karena bekerja, maka di waktu itu
ia mendapat ampunan. (HR.Thabrani dan Baihaqi)
Sebagian lainnya
berpendapat bahwa Ekonomi Islam merupakan sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi
yang disimpulkan dari Alquran dan As-Sunnah yang merupakan bangunan
perekonomian yang didirikan atas landasan dasar- dasar tersebut sesuai dengan
lingkungan dan masanya.
2.1.2 Hakikat Hukum Ekonomi
Pada hakikatnya ekonomi Islam adalah metamorfosa
nilai-nilai Islam dalam ekonomi dan dimaksudkan untuk menepis anggapan bahwa
Islam adalah agama yang hanya mengatur persoalan ubudiyah atau komunikasi
vertikal antara manusia (makhluk) dengan Allah (khaliq) nya.
Dengan kata lain, kemunculan ekonomi
Islam merupakan satu bentuk artikulasi sosiologis dan praktis dari nilai-nilai
Islam yang selama ini dipandang doktriner dan normatif. Dengan demikian, Islam
adalah suatu dien (way of life) yang praktis dan ajarannya tidak hanya
merupakan aturan hidup yang menyangkut aspek ibadah dan muamalah sekaligus,
mengatur hubungan manusia dengan rabb-nya (hablum minallah) dan hubungan antara
manusia dengan manusia (hablum minannas).
Hukum-hukum ilmu ekonomi tidak bisa setepat
hukum ilmu-ilmu pengetahuan alam. Hal ini
disebabkan oleh alasan-alasan berikut :
1. Ilmu ekonomi adalah ilmu pengetahuan sosial, dengan demikian harus
menghadapi banyak orang yang dikendalikan oleh banyak motif. Unsur ini dalam
situasinya, menyebabkan kenyataan bahwa hukum – hukum ekonomi hanya dapat
memberikan hasil rata – rata.
2. Data ekonomi tidak saja banyak jumlahnya tetapi data itu sendiri bisa
berubah. Karena sikap, selera, dan watak manusia berubah pada suatu jangka
waktu, maka tugas untuk meramalkan bagaimanakah perbedaan reaksi manusia
terhadap suatu perubahan keadaan tertentu pada kesempatan yang berbeda, menjadi
sangat riskan dan berbahaya.
3. Banyak faktor yang tidak dapat diketahui dalam situasi tertentu. Semua
data tidak dapat diketahui dan ramalan berdasarkan data yang diketahui yang
mungkin dipalsukan atau diubah oleh pengaruh data yang tidak diketahui. Tetapi
hukum ekonomi mungkin dapat dibandingkan dengan hukum pasang surut dari hukum
gaya berat yang sederhana dan eksak.
Di dalam ilmu ekonomi,
kesimpulan – kesimpulan yang pasti tidak bisa diramalkan dari suatu perangkat
fakta – fakta tertentu. Karena itu, hukum ekonomi dilukiskan sebagai hipotesis-
hipotesis karena kebenaran dan beroperasinya tergantung pada begitu banyak
faktor yang variabel ( mudah berubah – rubah ) dan tidak dapat dipastikan
sepenuhnya.
Namun hal itu tidaklah
berarti karena suatu hukum ekonomi bersifat hipotesis, lalu ia tidak nyata dan
tidak berguna. Hukum dari semua ilmu pengetahuan lainnya juga bersifat
hipotetik.
2.2 Sumber Hukum Ekonomi Islam
Keunikan hukum ekonomi
islam adalah karena keluasan dan kedalaman asas-asanya mengenai seluruh masalah umat manusia yang berlaku sepanjang masa.
Seluruh dasar dan sumber hukum Islam merupakan mukjizat yang tetap dan kekal
mukjizat dalam arti bahwa hukum Islam tidak hanya dapat dibandingkan dengan
hukum pasang surut, tetapi juga dengan hukum gaya berat yang sederhana, dan
eksak. Karena, sekalipun hukum Islam selalu menghasilkan kebenaran baru dan
tuntunan seger pada setiap masa dan tingkatan, tuntunan juga dibandingkan telah
diberikan bagi umat manusia melalui rangkaian wahyu fundamental dan abadi yang
telah diberikan Allah kepada Nabi S.A.W. Pada tingkat ini perlu mendalami dasar
dan sumber Hukum Islam yang sebenarnya, untuk menetapkan bahwa itu adalah
bimbingan tetap bagi umat manusia di setiap zaman yang akan datang. Kita semua
mengetahui bahwa pada dasarnya ada empat sumber Hukum Islam, yaitu:
1.
Kitab Suci Al-Qur’an
2.
Hadits atau Sunnah
3.
Ijma’
4.
Ijtihad atau Qiyas
2.3 Tujuan Ekonomi Islam
Segala aturan yang
diturunkan Allah swt dalam sistem Islam mengarah pada tercapainya kebaikan,
kesejahteraan, keutamaan, serta menghapuskan kejahatan, kesengsaraan, dan
kerugian pada seluruh ciptaan-Nya. Demikian pula dalam hal ekonomi, tujuannya adalah membantu manusia
mencapai kemenangan di dunia dan di akhirat.
Seorang fuqaha
asal Mesir bernama Prof. Muhammad Abu Zahrah mengatakan ada tiga sasaran hukum
Islam yang menunjukan bahwa Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat
manusia, yaitu:
1.
Penyucian jiwa agar setiap muslim boleh
menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dan lingkungannya.
2.
Tegaknya keadilan dalam masyarakat.
Keadilan yang dimaksud mencakupi aspek kehidupan di bidang hukum dan muamalah.
3.
Tercapainya maslahah (merupakan puncaknya).
Para ulama menyepakati bahwa maslahah yang menjadi puncak sasaran di atas
mencakupi lima jaminan dasar:
a)
Keselamatan keyakinan agama (ad-din)
b)
Kesalamatan jiwa (an-nafs)
c)
Keselamatan akal (al-aql)
d)
Keselamatan keluarga dan keturunan (an-nasl)
e)
Keselamatan harta benda (al-mal)
2.4 Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam
Secara garis besar ekonomi Islam
memiliki beberapa prinsip dasar:
1. Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau anugerah dari Allah
swt kepada manusia.
2. Islam mengakui pemilikan peribadi dalam batas-batas tertentu.
3. Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerjasama.
4. Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh
segelintir orang saja.
5. Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan
untuk kepentingan banyak orang.
6. Seorang muslim harus takut kepada Allah swt dan hari penentuan di akhirat
nanti.
7. Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab)
8. Islam melarang riba dalam segala bentuk.
1. Ekonomi adalah bagian dari agama (al-iqtishad min ad-din). Dr.
An-Nabulsi menekankan agar kita memahami agama bukan dari perspektif ortodoksi,
namun dari pintu gerbang kehidupan itu sendiri. Seorang yang bekerja dan
beribadah jauh lebih mulia (lebih dianggap sebagai hamba Allah) ketimbang
seorang yang hanya beribadah murni dan biaya hidupnya disokong oleh orang lain.
2. Ada aturan halal dan haram dalam ekonomi Islam. Betapapun banyak keuntungan yang
diberikan oleh kegiatan yang haram, ekonomi Islam tidak bakal mengakuinya.
3. Keniscayaan Investasi. Salah satu tujuan kewajiban zakat adalah investasi ini. Harta yang hanya
disimpan, lama-lama akan habis dimakan zakat. Maka, ia harus diputar,
diusahakan dan –untuk target jangka panjag– diinvestasikan.
4. Keharusan untuk jujur dan bersih dari penipuan. Dalam konteks ini, ekonomi Islam
melarang monopoli dan segala aksi penipuan yang lain.
2.5 Perilaku
Ekonomi dalam Islam
Perilaku Ekonomi dalam
islam harus terlepas dari unshur MAGHRIB : Maisir, Gharar dan Riba.
A.
Maisir
Maisir secara harfiah
adalah memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat
keuntungan tanpa bekerja. Judi dalam terminologi agama diartikan sebagai suatu
transaksi yang dilakukan oleh dua pihak untuk kepemilikan suatu benda atau jasa
yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain dengan cara mengaitkan
transaksi teresbut dengan suatu tindakan atau kejadian tertentu.
Rasulullah melarang
segala bentuk bisnis yang mendatangkan uang yang diperoleh dari
untung-untungan, spekulasi, & ramalan atau terkaan & bukan diperoleh
dari bekerja. Maisyir adalah suatu kegiatan bisnis yang di dalamnya jelas
bersifat untung-untungan atau spekulasi yang tidak rasional, tidak logis, tak
jelas barang yang ditawarkan baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.
Aktivitas bisnis yang mengandung aktivitas maisyir adalah kegiatan bisnis yang
dilakukan dalam rangka mendapatkan sesuatu dengan untung-untungan atau mengadu
nasib.
B.
Gharar
Gharar menurut bahasa
adalah khida’ ; penipuan. Dari segi terminologi : penipuan dan tidak mengetahui
sesuatu yang diakadkan yang didalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaan.
Sedangkan definisi
menurut beberapa ulama :
a. Imam Syafi’i
: Gharar adalah apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan
akibat yang paling mungkin muncul adalah yang paling kita takuti (tidak
dikehendaki)
b. Wahbah
al-Zuhaili : Gharar adalah penampilan yang menimbulkan kerusakan atau sesuatu
yang tampaknya menyenangkan tetapi hakikatnya menimbulkan kebencian.
c. Ibnu Qayyim
: Gharar dalah sesuatu yang tidak bisa diukur penerimaannya, baik barang itu
ada maupun tidak ada, seperti menjual hamba yang melarikan diri dan unta yang
liar.
Menurut Islam, gharar ini
merusak akad. Demikian Islam menjaga kepentingan manusia dalam aspek ini. Imam
an-Nawawi menyatakan bahwa larangan gharar dalam bisnis Islam mempunyai peranan
yang begitu hebat dalam menjamin keadilan.
Gharar adalah suatu
kegiatan bisnis yang tidak jelas kuantitas, kualitas, harga dan waktu
terjadinya transaksi tidak jelas. Aktivitas bisnis yang mengandung gharar
adalah bisnis yang mengandung risiko tinggi, atau transaksi yang dilakukan dalam
bisnis tak pasti atau kepastian usaha ini sangat kecil dan risikonya cukup
besar.
Contoh bisnis yang
mengandung unsur gharar adalah:
1. Jual beli
atas hasil yang belum pasti.
2. Jual beli
ternak yang masih dalam kandungan.
3. Jual beli
buah atau tanaman yang belum masa panen.
4. Jual beli
yang obyek transaksinya tidak ada wujudnya (ma’dum).
C. Riba
Menurut etimologi riba
berarti az-ziyadah. Artinya tambahan. Sedangkan menurut terminologi adalah :
اَلرِّبَافىِ الشَّرْعِ هُوَ فَضْلُ الخَالٍ عَنْ عِوَضِ
شَرْطٍ لأَحَدٍ العَاقِدَيْنِ
Kelebihan/tambahan
pembayaran tanpa ada ganti/imbalan yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua
orang yang membuat akad (transaksi).
Para ulama berbeda dalam
mencirikan macam-macam riba. Ibnu Rusyd menyebutkan : riba terdapat pada dua
perkara, yaitu pada jual beli tanggungan, pinjaman atau lainnya. Al-Jaziri
membagi riba atas riba nasi’ah dan riba fadl. Pembagian seperti ini banyak
digunakan oleh para ulama, antara lain Ali Al-Sayis dan Ali Ash-Shabuni, dalam
kitab tafsir masing-masing.
Sedangkan Ibnu Qayim membagi
riba atas dua bagian : Jaliy dan Khafy. Riba Jaliy adalah riba nasi’ah,
diharamkan karena mendatangkan mudlarat yang besar. Riba yang sempurna (riba
al-kamil) adalah riba nasi’ah. Riba ini berjalan pada masa jahiliyah. Riba Khafiy
diharamkan untuk menutup terjadinya Riba Jaliy.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ekonomi Islam merupakan ilmu yang
mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan
agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman
dan rukun Islam.
Pada hakikatnya
ekonomi Islam adalah metamorfosa nilai-nilai Islam dalam ekonomi dan
dimaksudkan untuk menepis anggapan bahwa Islam adalah agama yang hanya mengatur
persoalan ubudiyah atau komunikasi vertikal antara manusia (makhluk) dengan
Allah (khaliq) nya. Beberapa ekonom memberikan penegasan bahwa ruang lingkup dari ekonomi
Islam adalah masyarakat Muslim atau negara Muslim sendiri. Artinya, ia
mempelajari perilaku ekonomi dari masyarakat atau Negara Muslim di mana
nilai-nilai ajaran Islam dapat diterapkan.
Dengan kata lain, kemunculan ekonomi
Islam merupakan satu bentuk artikulasi sosiologis dan praktis dari nilai-nilai
Islam yang selama ini dipandang doktriner dan normatif. Dengan demikian, Islam
adalah suatu dien (way of life) yang praktis dan ajarannya tidak hanya
merupakan aturan hidup yang menyangkut aspek ibadah dan muamalah sekaligus,
mengatur hubungan manusia dengan rabb-nya (hablum minallah) dan hubungan antara
manusia dengan manusia (hablum minannas).
3.2 Saran
Dengan adanya makalah ini mahasiswa
diharapkan mampu menjelaskan arti, hakikat, perilaku ekonomi serta
sumber-sumber hukum dalam ekonomi Islam. Penulis menyadari di dalam penulisan
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan
kritik maupun saran kepada para pembaca, demi kesempurnaan makalah ini di masa
yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
·
Al – “Assal, Ahmad Muhammad dan Karim,
Fathi Ahmad Abdul, Sistem, Prinsip Dan Tujuan
Ekonomi Islam, Bandung, Pustaka Setia, 1999.
·
Mannan, Abdul, Teorri Dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta, PT
Dana Bhakti Wakaf, 1993.
·
Az – Zain, Samih Athif, Syariat Islam Dalam Perbincangan Ekonomi, Politik, Dan Sosial
Sebagai Perbandingan,Bandung, Penerbit Husairi, 1988.
·
Muhammad, Prinsip-prinsip Ekonomi
Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu), 2007
·
Naqvi, Syed Nawab Haider., 2003,
“Menggagas Ilmu Ekonomi Islam” (terjemahan dari: Islam, Economics, and
Society), Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
·
Hoetoro, Arif, 2007, “Ekonomi Islam
Pengantar Analisis Kesejarahan dan Metodologi”, BPFE UNIBRAW, Malang.
·
Chapra, M. Umer, 2001, “Masa Depan Ilmu
Ekonomi Sebuah Tinjauan Islam” (terjemahan dari: The Future of Economics: An
Islamic Perspective), Gema Insani Press, Jakarta.
Comments
Post a Comment