Makalah Kedudukan Naskh Dalam Syari’at Islam

BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Naskh merupakan pembatalan pelaksanaan hukum dengan hukum lain yang datang kemudian. Ada perbedaan pendapat tentang ada tidaknya naskh dalam Al-Qur’an. Ada ulama yang mengatakan tidak ada naskh dalam Al-Qur’an,tetapi ada pula yang mengatakan bahwa ada naskh dalam Al-Qur’an serta mereka juga mengemukakan dalil yang mendukungnya.

B.            Rumusan Masalah
1.             Apa pengertian dari Naskh itu sendiri ?
2.             Apa saja Syarat-syarat Naskh ?
3.             Mengapa Naskh itu bisa terjadi ?
4.             Apa saja Pembagian Naskh itu ?

C.           Tujuan Penulisan
Tulisan ini bertujuan untuk menambah wawasan para pembaca  khususnya  para mahasiswa jurusan HPI STAI Syaichona Cholil Bangkalan agar nantinya dapat mengetahui sekelumit tentang naskh yang terjadi dalam syari’at islam.



BAB II

PEMBAHASAN

A.        Pengertian Naskh
Pengertian naskh (النسخ) secara bahasa ada empat macam:
1.         الإزالة (menghapus). Pengertian ini terlihat misalnya pada kalimat نسخت الشمس الظل (matahari menghapus bayangan/mendung). Juga terlihat pada kalimat نسخت الريح أثر المشي (angin menghapus jejak perjalanan).
2.         النقل (memindahkan), yaitu menyalin sesuatu dari satu tempat ke tempat yang lain (نقل الشيء من موضع إلى موضع). Pengertian ini misalnya terdapat pada kalimat نسخت الكتاب و نسخت المصحف (saya telah menyalin kitab dan saya telah menyalin mushhaf). Pengertian ini juga terdapat dalam firman Allah ta’ala surah al-Jaatsiyah ayat 29: إنا كنا نستنسخ ما كنتم تعلمون (kami telah memerintahkan untuk menyalin/mencatat perbuatan yang telah kalian lakukan ke dalam lembaran catatan amal).
3.         التبديل (mengganti), yaitu mengganti sesuatu dengan sesuatu yang lain yang berbeda (تبديل الشيء من الشيء وهو غيره). Pengertian ini disebutkan oleh Ibn al-Manzhur di kitab beliau Lisanul ‘Arab.
4.         التحويل (mengubah), yaitu mengubah sesuatu dengan sesuatu yang lain         (تحويل الشيء من حالة إلى حالة). Pengertian ini misalnya terdapat dalam ungkapan   تناسخ المواريث, maksudnya adalah mengubah hak harta waris dari seseorang kepada orang lain.
Sedangkan pengertian naskh menurut istilah terdapat beberapa pendapat, yaitu:
1.         Membatalkan hukum yang diperoleh dari nash terdahulu dengan nash yang datang belakangan (إبطال الحكم المستفاد من نص سابق بنص لاحق).
2.          Khithab Syaari’ yang menghalangi dilanjutkannya hukum syara’ terdahulu (ختاب الشارع المانع من استمرار ما ثبت من حكم شرعي سابق).
3.         Menghapus hukum syara’ dengan khithab syara’ (رفع الحكم الشرعي بخطاب شرعي).
4.         Menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’ (رفع الحكم الشرعي بدليل شرعي).
Penulis kitab al-Manaar fii ‘Uluumil Qur’an menguatkan pendapat yang ke-4.
Istilah yang berkaitan dengan naskh adalah naasikh (الناسخ) dan mansuukh (المنسوخ). Naasikhdapat diartikan dengan “Allah ta’ala”, seperti firman-Nya pada surah al-Baqarah ayat 106: ما ننسخ من ءاية; dapat juga diartikan dengan “ayat atau sesuatu yang dengannya naskhdiketahui”, seperti dikatakan هذه الآية ناسخة لآية كذا; bisa juga diartikan dengan “hukum yang menghapuskan” hukum yang lain. Sedangkan mansuukh adalah hukum yang dihapuskan (الحكم المرتفع).

B.        Syarat-Syarat Naskh
1.         Hukum yang mansuukh adalah hukum syara’ (أن يكون الحكم المنسوخ شرعيا).
2.         Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khithab syar’i yang datang lebih kemudian dari khithab yang hukumnya mansuukh (أن يكون الدليل على ارتفاع الحكم خطابا شرعيا متراخيا عن الخطاب المنسوخ حكمه).
3.         Khithab yang mansuukh hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut, dan itu tidak dinamakan naskh (ألا يكون الخطاب المرفوع حكمه مقيدا بوقت معين. وإلا فالحكم ينتهي بانتهاء وقته ولا يعد هذا نسخا).

C.        Ruang Lingkup Naskh
Naskh hanya terjadi pada perintah (الأوامر) dan larangan (النواهي), baik yang diungkapkan dengan jelas (صريحة) maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita (بلفظ الخبر) yang bermakna perintah atau larangan. Naskh tidak terjadi pada hal-hal yang berhubungan dengan ‘aqidah, adab dan akhlaq, serta pokok-pokok ‘ibadah dan mu’amalah. Naskh juga tidak terjadi pada berita yang jelas tidak bermakna thalab (tuntutan; perintah atau larangan), seperti janji (الوعد) dan ancaman (الوعيد).

D.        Sebab-Sebab Berwujud Naskh
Rasulullah s.a.w datang kepada suatu kaum yang belum mempunyai agama, belum terikat dengan sesuatu syari’at tidak mempunyai rencana hidup. Maka apabila diturunkan syari’at kepada mereka sekaligus tentulah mereka tiada sanggup menerimanya. Oleh karenanya didatangkanlah syari’at itu sedikit demi sedikit. Sesudah mereka dapat merasakan kelezatan syari’at yang dibawa Islam dan telah membiasakan diri berperangai dengan perangai-perangai utama, barulah dihadapkan kepada mereka suatu syari’at yang komplit. Pada masa itu barulah diharamkan urusan-urusan yang tadinya dibolehkan dan barulah ditugaskan mereka mengerjakan hal-hal yang tadinya tidak ditugaskan.

Setelah Islam datang, barulah diharamkan segala rupa fahisyah, baik yang nyata, maupun yang tersembunyi yang sebelumnya mereka tidak mengharamkannya.

Oleh karena itu naskh hanya mengenai hukum-hukum yang bersifat sementara, tiadalah naskh itu itu dihadapkan kepada suatu hukum yang disertakan oleh sesuatu keterangan menunjuk kepada keabadiannya.

Umpamanya, sabda Nabi s.a.w :
الجهاد ماض الى يوم القيامة
“Jihad itu terus menerus berlaku hingaa hari kiamat”.

Diterangkan oleh Asy Syathibi dalam Al Muwafaqat, “Bahwa kebanyakan naskh itu dilakukan di Madinah, adalah karena hukum-hukum yang ditumbuhkan di Makkah, bersifat kaedah-kaedah kulliyah. Kaedah-kaedah kulliyah itu, tidak menerima naskh. Yang menerima naskh, hanyalah hukum-hukum juz-iyah pula.

Naskh, adakala sharieh adakala dlimniy.
Naskh sharieh, ialah : yang terang tegas dinyatakan dalam nash yang kedua, bahwa dia menasakhkan nash yang pertama, seperti sabda Nabi s.a.w :
كنت نهيتكم عن زيارة القبور الا فزوروها فإنّها تذكركما الأخرة
“Aku mencegah kamu untuk menziarahi kubur, Berziarahlah karena dengan berziarah itu mengingatkan kamu kepada akhirat”.
Naskh dlimniy, ialah : mensyari’atkan sesuatu hukum yang berlawanan dengan hukum yang terdahulu daripadanya.

E.        Cara Mengetahui Naskh Dan Mansukh
Cara untuk mengetahui naskh dan mansukh dapat dilihat dengan cara-cara sebagai berikut.
1.         Keterangan tegas dari nabi atau sahabat, seperti hadis yang artinya:
Aku (dulu) pernah melarangmu berziarah ke kubur, sekarang Muhammad telah.mendapat izin untuk menziarahi ke kubur ibunya, kini berziarahlah kamu ke kubur. Sesungguhnya ziarah kubur itu mengingatkan pada hari akhir. (Muslim, Abu Daud, dan Tirmizi).
2.         Kesepakatan umat tentang menentukan bahwa ayat ini nasakh dan ayat itu mansukh.
3.         Mengetahui mana yang lebih dahulu dan kemudian turunnya dalam perspektif sejarah.
Nasikh tidak dapat ditetapkan berdasarkan ijtihad, pendapat mufassir, atau keadaan dalil-dalil yang secara lahir tampak kontradiktif, atau terlambatnya keislaman seseorang dari dua perawi.
Ketiga-tiga persyaratan tersebut merupakan faktor yang sangat menentukan adanya naskh dan mansukh dalam Alquran. Jadi, berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa nasakh mansukh hanya terjadi dalam lapangan hukum dan tidak termasuk penghapusan yang bersifat asal (pokok).
F.         Pembagian Naskh
Naskh ada empat bagian:
1.         Naskh al-Qur’an dengan al-Qur’an (نسخ القرآن بالقرآن). Bagian ini disepakati kebolehannya. Misalnya tentang hukum ‘iddah.  Surah al-Baqarah ayat 240 yang berbunyi:
والذين يتوفون منكم ويذرون أزوجا وصية لأزوجهم متعا إلى الحول غير إخراج
Artinya: “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kalian dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya,  yaitu diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah dari rumahnya.”
Ayat tersebut hukumnya telah di-naskh oleh surah al-Baqarah ayat 234 yang berbunyi:
والذين يتوفون منكم ويذرون أزوجا يتربصن بأنفسهن أربعة أشهر وعشرا
Artinya: “Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dan meninggalkan istri, hendaklah para istri itu menangguhkan dirinya ber-‘iddah empat bulan sepuluh hari.”
2.         Naskh al-Qur’an dengan as-Sunnah (نسخ القرآن بالسنة). Naskh ini terbagi lagi menjadi dua macam: Pertama, naskh al-Qur’an dengan Hadits Ahad (نسخ القرآن بالسنة الآحادية). Mayoritas ‘ulama berpendapat al-Qur’an tidak boleh di-naskh oleh Hadits Ahad, sebab al-Qur’an mutawatir dan menunjukkan keyakinan (يفيد اليقين) sedangkan Hadits Ahad hanya bersifat dugaan (مظنون). Tidak sah menghapus sesuatu yang jelas diketahui (المعلوم) dengan yang masih dugaan (المظنون).
Kedua, naskh al-Qur’an dengan Hadits Mutawatir (نسخ القرآن بالسنة المتواترة). Naskh seperti ini dibolehkan oleh Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam salah satu riwayat, dengan alasan keduanya adalah wahyu. Sedangkan asy-Syafi’i, kalangan Zhahiriyah dan Ahmad dalam riwayat yang lain menolak naskh seperti ini, berdasarkan firman Allah ta’ala pada surah al-Baqarah ayat 106:
ما ننسخ من ءاية أو ننسها نأت بخير منها أو مثلها
Dan hadits tidak lebih baik atau sebanding dengan al-Qur’an.
3.         Naskh as-Sunnah dengan al-Qur’an (نسخ السنة بالقرآن). Naskh seperti ini dibolehkan oleh jumhur (mayoritas) ‘ulama. Misalnya hukum kiblat menghadap ke Baitul Maqdis yang ditetapkan oleh as-Sunnah di­-naskh oleh al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 144 :
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَآءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
Artinya : Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.
Walaupun dibolehkan oleh jumhur, asy-Syafi’i dalam salah satu riwayat menolak naskh seperti ini. Menurut beliau, apa saja yang ditetapkan as-Sunnah tentu didukung al-Qur’an, dan apa saja yang ditetapkan al-Qur’an tentu didukung oleh as-Sunnah. Hal ini karena antara al-Qur’an dan as-Sunnah harus senantiasa sejalan dan tidak bertentangan.
4.         Naskh as-Sunnah dengan as-Sunnah (نسخ السنة بالسنة). Naskh ini terbagi menjadi empat macam: (a) naskh mutawatir dengan mutawatir (نسخ متواترة بمتواترة); (b) naskh ahad dengan ahad (نسخ آحاد بآحاد); (c) naskh ahad dengan mutawatir (نسخ آحاد بمتواترة); dan (d) naskhmutawatir dengan ahad (نسخ متواترة بآحاد). Tiga yang pertama dibolehkan, sedangkan yang ke-4 terjadi perbedaan pendapat seperti halnya naskh al-Qur’an dengan Hadits Ahad, yang tidak dibolehkan oleh mayoritas ‘ulama.
Adapun me-naskh ijma’ dengan ijma’ dan qiyas dengan qiyas atau me-naskh  dengan keduanya, pendapat yang shahih adalah yang tidak membolehkannya. Wallahu a’lam.



BAB III

PENUTUP

A.           Kesimpulan
Naskh menurut bahasa yaitu mengaitkan kepada arti yang hilang. Naskh mengandung beberapa makna yaitu: menghilangkan, mengganti, memalingkan, dan menukilkan. Sedangkan menurut istilah, ialah membuang hukum syar’i dengan kitab syar’i.
Adapun bagaimana cara mengetahui naskh  adalah harus melalui banyak jalan, diantaranya: naskh yang sharih dari Rosulullah SAW, keterangan para sahabat, perlawanan yang tidak dapat dikompromikan, serta diketahui tarikh turunnya ayat-ayat itu. Masalah naskh bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ia merupakan bagian yang berada dalam disiplin ilmu tafsir dan ilmu ushul fiqih.



DAFTAR PUSAKA

-                 Mabaahits fii ‘Uluumil Qur’an karya Syaikh Mannaa’ al-Qaththaan.
-                 al-Itqaan fii ‘Uluumil Qur’an karya Imam as-Suyuthi.
-                 al-Manaar fii ‘Uluumil Qur’an karya Dr. Muhammad ‘Ali al-Hasan.
-                 Taysir al-Wushuul ila al-Ushuul karya Syaikh ‘Atha ibn Khalil.
-                 asy-Syakhshiyah al-Islamiyah karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani.
-                 Prof. DR. T.M. Hasbi Ashshiddieqy, Pengantar Hukum Islam.
-                 Abu Anwar, Sebuah Pengantar Ulum Al-quran (Bekasi: Media Grafika, 2002),  53



Comments