Dasar-dasar Ekonomi Islam


BAB I
PENDAHULUAN
1.1     Latar Belakang
Dalam bahasa sehari-hari kata hukum sering dikonotasikan dengan peraturan dan sejenisnya. Namun sesungguhnya kata hukum yang digunakan oleh masyarakat itu sendiri berasal dari bahasa arab yang diserap menjadi bahasa Indonesia yaitu “ﺤﮑﻢ (hukm) jamak dari ahkam yang berarti “putusan” (judgement, verdict, decision), “ketetapan” (provision), “perintah” (command), “pemerintahan” (government), “kekuasaan” (authority, power), “hukuman” (sentences) dan lain-lain. Kata kerjanya hakama yahkumu yang bermakna “memutuskan”, “mengadili”, “menetapkan”, “memerintahkan”, “menghukum”, “mengendalikan” dan lain sebagainya.
Selain dalam bahasa arab, istilah “hukum” juga dikenal dalam bahasa lain seperti law dalam bahasa inggris, recht dalam bahasa Jerman dan Belanda atau kata latin Ius. Kata “hukum” kemudian dipergunakan lebih jauh dalam perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia seperti kata “hukuman”, “terhukum”, “penegak hukum”, “hakim”, “kehakiman”, “mahkamah” dan banyak lagi.
Kata hukum dalam al-Qur’an dipahami sebagai “putusan” atau “ketetapan” terhadap suatu masalah. Putusan atau ketetapan yang tidak hanya mengatur hubungan antara khaliq (pencipta) dan makhluq (yang diciptakan) tapi juga antar manusia yang didalamnya mengatur tentang hukum amaliyah (fiqh), hukum tauhid (aqidah) maupun yang berhubungan dengan hukum etika (akhlaq).
1.2     Rumusan Masalah
1.  Bagaimana Ruang Lingkup Hukum Islam?
2.  Bagaimana Ciri-ciri Hukum Islam?



BAB II
PEMBAHASAN
2.1         Pengertian Ruang Lingkup Hukum Islam
Yang dimaksud dengan ruang lingkup hukum Islam di sini adalah objek kajian hukum Islam atau bidang-bidang hukum yang menjadi bagian dari hukum Islam. Hukum Islam di sini meliputi syariah dan fikih. Hukum Islam sangat berbeda dengan hukum Barat yang membagi hukum menjadi hukum privat (hukum perdata) dan hukum publik. Sama halnya dengan hukum adat di Indonesia, hukum Islam tidak membedakan hukum privat dan hukum publik. Pembagian bidang-bidang kajian hukum Islam lebih dititikberatkan pada bentuk aktivitas manusia dalam melakukan hubungan.
Ruang Lingkup Hukum Islam Dengan melihat bentuk hubungan ini, dapat diketahui bahwa ruang lingkup hukum Islam ada dua, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan (hablun minallah) dan hubungan manusia dengan sesamanya (hablun minannas). Bentuk hubungan yang pertama disebut ibadah dan bentuk hubungan yang kedua disebut muamalah.
Dengan mendasarkan pada hukum-hukum yang terdapat dalam al- Quran, Abdul Wahhab Khallaf membagi hukum menjadi tiga, yaitu hukum-hukum i’tiqadiyyah (keimanan), hukum-hukum khuluqiyyah (akhlak), dan hukum-hukum ‘amaliyyah (aktivitas baik ucapan maupun perbuatan). Hukum-hukum ‘amaliyyah inilah yang identik dengan hukum Islam yang  dimaksud di sini. Abdul Wahhab Khallaf membagi hukum-hukum ‘amaliyyah menjadi dua, yaitu hukum-hukum ibadah yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan hukum-hukum muamalah yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (Khallaf, 1978: 32).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup atau bidang-bidang kajian hukum Islam ada dua, yaitu bidang ibadah dan bidang muamalah. Kedua bidang hukum ini akan diuraikan lebih jauh pada pembahasan selanjutnya.
A.           Ibadah
Secara etimologis kata ‘ibadah’ berasal dari bahasa Arab al-‘ibadah, yang merupakan mashdar dari kata kerja ‘abada - ya’budu yang berarti menyembah atau mengabdi (Munawwir, 1997: 886). Sedang secara terminologis ibadah diartikan dengan perbuatan orang mukallaf (dewasa) yang tidak didasari hawa nafsunya dalam rangka mengagunkan Tuhannya (al-Jarjani, 1988: 189).
Sementara itu, Hasbi ash Shiddieqy (1985: 4) mendefinisikan ibadah sebagai segala sesuatu yang dikerjakan untuk mencapai keridoan Allah dan mengharap pahala-Nya di akhirat. Inilah definisi yang dikemukakan oleh ulama fikih. Dari makna ini, jelaslah bahwa ibadah mencakup semua aktivitas manusia baik perkataan maupun perbuatan yang didasari dengan niat ikhlas untuk mencapai keridhoan Allah dan mengharap pahala di akhirat kelak.
Hakikat ibadah menurut para ahli adalah ketundukan jiwa yang timbul karena hati merasakan cinta akan yang disembah (Tuhan) dan merasakan keagungan-Nya, karena meyakini bahwa dalam alam ini ada kekuasaan yang hakikatnya tidak diketahui oleh akal.
Dari beberapa pengertian tentang ibadah di atas dapat dipahami bahwa ibadah hanya tertuju kepada Allah dan tidak boleh ibadah ditujukan kepada selain Allah. Hal ini karena memang hanya Allah yang berhak menerima ibadah hamba-Nya dan Allahlah yang telah memberikan segala kenikmatan, pertolongan, dan petunjuk kepada semua makhluk ciptaan-Nya. Oleh karena itu, dalam al-Quran dengan tegas disebutkan bahwa Allah memerintahkan jin dan manusia untuk beribadah kepada-Nya (Q.S. al- Dzariyat [51]: 56). Di ayat lain Allah memerintahkan ibadah kepada manusia sebagai sarana untuk mencapai derajat takwa (Q.S. al-Baqarah [2]: 21).
Dengan demikian, jelaslah bahwa ibadah merupakan hak Allah yang wajib dilakukan oleh manusia kepada Allah. Karena ibadah merupakan perintah Allah dan sekaligus hak-Nya, maka ibadah yang dilakukan oleh manusia harus mengikuti aturan-aturan yang dibuat oleh Allah. Allah mensyaratkan ibadah harus dilakukan dengan ikhlas (Q.S. al-Zumar [39]: 11) dan harus dilakukan secara sah sesuai dengan petunjuk syara’ (Q.S. al-Kahfi [18]: 110).
Dalam masalah ibadah berlaku ketentuan, tidak boleh ditambahtambah atau dikurangi. Allah telah mengatur ibadah dan diperjelas oleh Rasul-Nya. Karena ibadah bersifat tertutup (dalam arti terbatas), maka dalam ibadah berlaku asas umum, yakni pada dasarnya semua perbuatan ibadah dilarang untuk dilakukan kecuali perbuatan-perbuatan itu dengan tegas diperintahkan. Dengan demikian, tidak mungkin dalam ibadah dilakukan modernisasi, atau melakukan perubahan dan perombakan yang mendasar mengenai hukum, susunan, dan tata caranya. Yang mungkin dapat dilakukan adalah penggunaan peralatan ibadah yang sudah modern (Muhammad Daud Ali, 1996: 49).
Ibadah memiliki peran yang sangat penting dalam Islam dan menjadi titik sentral dari seluruh aktivitas kaum Muslim. Seluruh aktivitas kaum Muslim pada dasarnya merupakan bentuk ibadah kepada Allah, sehingga apa saja yang dilakukannya memiliki nilai ganda, yaitu nilai material dan nilai spiritual. Nilai material berupa imbalan nyata di dunia, sedang nilai spiritual berupa imbalan yang akan diterima di akhirat.
Para ulama membagi ibadah menjadi dua macam, yaitu ibadah mahdlah (ibadah khusus) dan ibadah ghairu mahdlah (ibadah umum) (Ash Shiddieqy, 1985: 5). Ibadah khusus adalah ibadah langsung kepada Allah yang tata cara pelaksanaannya telah diatur dan ditetapkan oleh Allah atau dicontohkan oleh Rasulullah. Karena itu, pelaksanaan ibadah sangat ketat, yaitu harus sesuai dengan contoh dari Rasul. Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan pedoman atau cara yang harus ditaati dalam beribadah, tidak boleh ditambah-tambah atau dikurangi. Penambahan atau pengurangan dari ketentuan-ketentuan ibadah yang ada dinamakan bid’ah dan berakibat batalnya ibadah yang dilakukan. Dalam masalah ibadah ini berlaku prinsip:
“Pada prinsipnya ibadah itu batal (dilarang) kecuali ada dalil yang memerintahkannya (Ash Shiddieqy, 1980, II: 91).
Contoh ibadah khusus ini adalah shalat (termasuk di dalamnya thaharah), zakat, puasa, dan haji. Inilah makna ibadah yang sebenarnya yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya.
Adapun ibadah ghairu mahdlah (ibadah umum) adalah ibadah yang tata cara pelaksanaannya tidak diatur secara rinci oleh Allah dan Rasulullah. Ibadah umum ini tidak menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi justeru berupa hubungan antara manusia dengan manusia atau dengan alam yang memiliki nilai ibadah. Bentuk ibadah ini umum sekali, berupa semua aktivitas kaum Muslim (baik perkataan maupun perbuatan) yang halal (tidak dilarang) dan didasari dengan niat karena Allah (mencari rido Allah). Jadi, sebenarnya ibadah umum itu berupa muamalah yang dilakukan oleh seorang Muslim dengan tujuan mencari ridho Allah.
Para ulama ada juga yang membagi ibadah menjadi lima macam, yaitu:
1)   ibadah badaniyah, seperti shalat
2)   ibadah maliyah, seperti zakat
3)   ibadah ijtima’iyah, seperti haji
4)   ibadah ijabiyah, seperti thawaf
5)   ibadah salbiyah, seperti meninggalkan segala yang diharamkan dalam masa berihram (Ash Shiddieqy, 1985: 5). Tentu masih banyak tinjauan ibadah dari ulama lain berdasarkan sudut pandang yang berbeda-beda, namun tidak akan menghilangkan ruhnya, yaitu bahwa ibadah merupakan suatu ketundukan seorang hamba kepada Tuhannya dengan didukung oleh keikhlasan atau ketulusan hati.
B.      Muamalah
Secara etimologis kata muamalah berasal dari bahasa Arab al-mu’amalah yang berpangkal pada kata dasar ‘amila-ya’malu-‘amalan yang berarti membuat, berbuat, bekerja, atau bertindak (Munawwir, 1997: 972). Dari kata ‘amila muncul kata ‘amala-yu’amilu–mu’amalah yang artinya hubungan kepentingan (seperti jual beli, sewa, dsb) (Munawwir, 1997: 974). Sedangkan secara terminologis muamalah berarti bagian hukum amaliah selain ibadah yang mengatur hubungan orang-orang mukallaf antara yang satu dengan lainnya baik secara individu, dalam keluarga, maupun bermasyarakat (Khallaf, 1978: 32).
Berbeda dengan masalah ibadah, ketetapan-ketetapan Allah dalam masalah muamalah terbatas pada yang pokok-pokok saja. Penjelasan Nabi, kalaupun ada, tidak terperinci seperti halnya dalam masalah ibadah. Oleh karena itu, bidang muamalah terbuka sifatnya untuk dikembangkan melalui ijtihad. Kalau dalam bidang ibadah tidak mungkin dilakukan modernisasi, maka dalam bidang muamalah sangat memungkinkan untuk dilakukan modernisasi. Dengan pertimbangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian maju, masalah muamalah pun dapat disesuaikan sehingga mampu mengakomodasi kemajuan tersebut.
Dilihat dari segi bagian-bagiannya, ruang lingkup hukum Islam dalam bidang muamalah, menurut Abdul Wahhab Khallaf (1978: 32-33), meliputi :
(1)   ahkam al-ahwal al-syakhshiyyah (hukum-hukum masalah personal/keluarga)
(2)   al-ahkam al-madaniyyah (hukum-hukum perdata)
(3)   al-ahkam al-jinaiyyah (hukum-hukum pidana)
(4)   ahkam al-murafa’at (hukum-hukum acara peradilan)
(5)   al-ahkam al-dusturiyyah(hukum-hukum perundang-undangan)
(6)   alahkam al-duwaliyyah (hukum-hukum kenegaraan)
(7)   alahkam al-iqtishadiyyah wa al-maliyyah/(hukum-hukum ekonomi dan harta).
Akan tetapi, jika pembagian hukum muamalah yang tujuh di atas digolongkan dalam dua bagian sebagaimana yang ada dalam hukum Barat, maka susunannya adalah sebagai berikut:
a.  Hukum perdata (Islam), yang meliputi:
1)  Ahkam al-ahwal al-syakhshiyyah, yang mengatur masalah keluarga, yaitu hubungan suami isteri dan kaum kerabat satu sama lain. Jika dibandingkan dengan tata hukum di Indonesia, maka bagian ini meliputi hukum perkawinan Islam dan hukum kewarisan Islam.
2)  Al-ahkam al-madaniyyah, yang mengatur hubungan antar individu dalam bidang jual beli, hutang piutang, sewa-menyewa, petaruh, dan sebagainya. Hukum ini dalam tata hukum Indonesia dikenal dengan hukum benda, hukum perjanjian, dan hukum perdata khusus.
b.  Hukum publik (Islam), yang meliputi:
1)  Al-ahkam al-jinaiyyah, yang mengatur pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang mukallaf dan hukuman-hukuman baginya. Di Indonesia hukum ini dikenal dengan hukum pidana.
2) Ahkam al-murafa’at, yang mengatur masalah peradilan, saksi, dan sumpah untuk menegakkan keadilan. Di Indonesia hukum ini disebut dengan hukum acara.
3) Al-ahkam al-dusturiyyah, yang berkaitan dengan aturan hukum dan dasar-dasarnya, seperti ketentuan antara hakim dengan yang dihakimi, menentukan hak-hak individu dan sosial.
4)  Al-ahkam al-duwaliyyah, yang berhubungan dengan hubungan keuangan antara negara Islam dengan negara lain dan hubungan masyarakat non-Muslim dengan negara Islam. Di Indonesia hukum ini dikenal dengan hukum internasional.
5) Al-ahkam al-iqtishadiyyah wa al-maliyyah, yang berkaitan dengan hak orang miskin terhadap harta orang kaya, dan mengatur sumber penghasilan dan sumber pengeluarannya. Yang dimaksud di sini adalah aturan hubungan keuangan antara yang kaya dengan fakir miskin dan antara negara dengan individu.
2.2         Ciri-ciri Hukum Islam
Ciri utama hukum Islam, yakni:
a.  merupakan bagian dan bersumber dari agama Islam.
b.  mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat di pisahkan dari iman atau aqkidah dan kesusilaan atau akhlak Islam.
c.  mempunyai dua istilah kunci yakni:
1.  syari’at : Syari’at terdiri dari wahyu Allah dan Sunnah Nabi Muhamad
2.  fiqih : fiqih adalah pemahaman dan hasil pemahaman manusia tentang syari’ah.
d.  terdiri dari dua bidang utama yakni:
1.  ibadah
2.  muammalah
e.  stukturnya berlapis, terdiri dari:
1.  nash atau teks Alqur’an.
2.  Sunah Nabi Muhamad (untuk syari’at).
3.  hasil ijtihad manusia  yang mempunyai syarat tentang wahyu dan sunnah,
4.  pelaksanaan dalam praktik baik.
5.  berupa keputusan hakim,maupun berupa amalan- amalan  umat islam dalam masyarakat (untik fiqih).
f.  mendahulukan kewajiban dari hak, amal dari pahala.
g.  dapat dibagi menjadi:
1.  hukum taklifi atau hukum taklif  yakni al-ahkam al-khamsah yang terdiri dari lima kaidah,lima jenis hukum, lima kategori hukum, yakni ja’iz, sunnat, makruh, wajib, dan haram,
2.  hukum wadh’I yang mengandung  sebab, syarat, halangan terjadi atau terwujudnya hubungan hukum.
h. berwatak universal,berlaku abadi untuk umat Islam di mana pun mereka berada, tidak terbatas pada umat Islam  di suatu tempat atau Negara pada sutu masa saja.
i.  menghormati martabat manusia sebagai kesatuan jiwa dan raga, rohani dan jasmani saerta memelihara kemulian manusia  dan kemanusiaan secara keseluruhan.
j.   pelaksanaanya dalam praktik digerakkan oleh iman (akidah) dan akhlak umat Islam.











BAB III
PENUTUP
3.1     Kesimpulan
Tujuan diturunkanya hukum islam adalah untuk   kepentingan, kebahagiaan, kesejahteraan, dan keselamatan umat manusia di dunia dan di akhirat kelak. dapat disimpulkan, bahwa syariat Islam bukan hanya mengatur urusan dan persoalan yang dibahas oleh agama, tetapi juga urusan dan persoalan yang dibahas oleh ideologi. Dengan lingkup syariat Islam yang meliputi dua wilayah ini—agama dan ideologi—maka tepat sekali jika Islam disebut sebagai agama dan ideologi sekaligus. Artinya, secara mendasar, Islam jelas berbeda dengan Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, dan sebagainya yang bersifat spiritual. Syariat agama-agama non-Islam di atas pada faktanya hanya membahas urusan dan persoalan spiritual (keakhiratan) sehingga hanya layak disebut sebagai agama. Sebaliknya, urusan dan persoalan keduniaan yang dibahas oleh ideologi, tidak dibahas oleh agama-agama non-Islam tersebut. Islam juga berbeda dengan ideologi-ideologi lain seperti Kapitalisme dan Sosialisme. Kedua ideologi tersebut pada faktanya juga hanya membahas urusan dan persoalan keduniaan semata. Sebaliknya, urusan dan persoalan spiritual (keakhiratan) yang dibahas oleh agama tidak dibahas oleh keduanya. Karena itu, baik Kapitalisme maupun Sosialisme tidak dapat disebut sebagai agama, tetapi lebih tepat disebut sebagai ideologi.
3.2     Saran
Untuk menyempurnakan makalah ini, kami berharap bagi para pembaca untuk memberikan saran dan kritikan yang sifatnya membangun dan berguna, agar makalah ini bisa mencapai kesempurnaan pada penyusunan selanjutnya. Sebelum dan sesudahnya penyusun mengucapkan terima kasih.






DAFTAR PUSTAKA
·                Ali, Mohammad Daud. Pengantar Ilmu hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998.
·                Daud Ali Mohammad,Hukum Islam ,Jakarta:Rajawali pers,2009.
·                Usman Suparman, Hukum Islam,Jakarta:Gaya media pratama,2001.
·                Al qur’an dan terjemahnya, Departemen Agama RI.
·                Ash-Shiddiqie, T.M. Hasbi. Pengantar Ilmu Fikih. cetakan ke 2. (Jakarta, Bulan Bintang, 1974).


Comments